Kota Semarang,TEMPOJATENG.COM – Selain dikenal dengan kuliner khas lumpia, Kota Semarang juga memiliki produk minuman tradisional hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa yang cukup legendaris, yakni Congyang. Minuman beralkohol ini juga populer dengan sebutan Ceye atau Tiga Dewa, mengacu pada label bergambar tiga pria berpakaian tradisional Tiongkok pada kemasannya.
Dilansir dari berbagai sumber, sosok penting di balik terciptanya Congyang adalah Koh Tiong, seorang peracik jamu dan pewaris generasi pengobatan tradisional Tionghoa yang menetap di Semarang. Dari tangan Koh Tiong, Congyang berkembang dan melegenda hingga saat ini.
Konon, Koh Tiong pernah belajar dari Khong A Djong, tokoh pengobatan dan bela diri khas Tiongkok yang juga tercatat sebagai murid Wong Fei Hong. Namun, klaim tersebut dibantah oleh Khong Fan Shen, putra Khong A Djong. Melalui orang kepercayaannya, Bram Luska, ia menegaskan bahwa Koh Tiong tidak pernah dikenal dalam lingkaran keluarganya, termasuk soal peracikan minuman kesehatan Adjong yang disebut-sebut menjadi cikal bakal Congyang.
Dari Adjong ke Congyang
Sejarah Congyang memang tidak lepas dari minuman Adjong yang populer di Semarang era 1980-an. Adjong awalnya diracik sebagai minuman kesehatan, tetapi kerap disalahgunakan hingga muncul istilah “doyong Adjong” untuk menggambarkan orang yang mabuk setelah mengonsumsinya.
Seiring waktu, Adjong mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu keras seperti arak Tiongkok. Rasanya pun tidak cocok bagi sebagian besar konsumen lokal. Dari situlah Congyang hadir sebagai pengganti dengan cita rasa yang lebih sesuai lidah masyarakat Semarang.
Popularitas Congyang terus meningkat hingga diproduksi secara massal. Awalnya, minuman ini diproduksi di sebuah rumah di kawasan Pecinan Semarang, tepatnya di sebelah Klenteng Siu Hok Bio. Pada distribusi awal, Congyang dikemas menggunakan besek dengan pelindung dari dami (jerami padi kering) agar botol tidak mudah pecah saat pengiriman.
Antara Jamu dan Alkohol
Meski awalnya dikenal sebagai jamu kesehatan, Congyang pada praktiknya lebih sering dikonsumsi berlebihan sehingga menimbulkan efek memabukkan. Minuman ini merupakan hasil fermentasi beras, gula pasir, spirit, perasa kopi moka, pewarna makanan, serta beberapa bahan tambahan lain yang membuatnya masuk kategori minuman beralkohol golongan B dengan kadar 19,5 persen.
Melihat potensi penyalahgunaan, pemerintah kemudian menetapkan pengawasan ketat terhadap peredaran Congyang. Minuman ini hanya boleh diedarkan dengan regulasi khusus sesuai aturan minuman beralkohol.
Kini, Congyang tetap menjadi bagian dari warisan budaya kuliner Semarang, sebuah minuman yang mencerminkan akulturasi panjang Jawa-Tionghoa, sekaligus menimbulkan kontroversi antara tradisi jamu kesehatan dan minuman beralkohol.
(Gepeng)
0 Komentar