![]() |
Istimewa |
TempoJateng.com - Pagi itu, Senin 31 Maret 2025, pelataran Istana Kepresidenan Jakarta mendadak jadi lautan manusia. Ribuan warga dari berbagai penjuru Ibu Kota berdatangan, bukan untuk berdemo atau menyampaikan aspirasi, tapi untuk bersilaturahmi dalam gelar griya—tradisi Lebaran yang kembali dihidupkan Presiden Prabowo Subianto.
Di bawah langit biru yang cerah, antrean warga menjuntai hingga halaman luar istana. Suasana riang, sesekali diselingi gelak tawa anak-anak dan sapaan hangat antartetangga yang baru bertemu. Para petugas keamanan berjaga, tak bersikap kaku. Hari itu, protokol dilembutkan oleh suasana Lebaran.
Tak sekadar berkunjung, warga pulang membawa bingkisan: lebih dari 5.000 paket berisi bahan kebutuhan pokok seperti mie instan, teh, susu, dan gula, serta suvenir khas Lebaran: payung, handuk, tumblr, dan kue kering. Sebuah perayaan simbolik, tapi berarti, di tengah tekanan ekonomi yang masih dirasakan sebagian besar masyarakat pasca pandemi dan inflasi global.
“Saya senang bisa masuk istana. Ini pertama kali,” ujar Nurlaila, 51 tahun, warga Cengkareng yang datang bersama cucunya. Ia menggenggam erat tas bingkisan, matanya berbinar. “Bingkisan ini bisa bantu Lebaran kami lebih meriah.”
Presiden Prabowo sendiri tak banyak berbicara. Ia menyapa warga yang melintas, menyalami beberapa, dan sesekali melempar senyum. Tidak ada pidato resmi, tidak ada sorotan kamera yang terlalu mengatur. Yang tampil adalah suasana egaliter: pemimpin di antara rakyatnya, di tengah aroma ketupat yang mulai tercium dari tas-tas yang dibawa pulang.
Gelar griya kali ini seperti hendak menyampaikan bahwa di balik segala hiruk-pikuk politik dan isu nasional yang belum reda, negara masih hadir dalam bentuk yang paling sederhana: memberi dan menyapa. Dalam lanskap demokrasi yang kerap terasa jauh, sepasang tangan yang menyodorkan bingkisan bisa menjadi simbol kebersamaan yang paling nyata.
Di jalan keluar istana, para warga berfoto, bersorak, dan berjanji akan datang lagi tahun depan. Seolah tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari ruang batin rakyat yang mendamba kedekatan dengan pemimpinnya. Di hari itu, setidaknya untuk sejenak, negara dan rakyat bertemu tanpa sekat.(Iqbal)
0 Komentar