Gelar griya Lebaran kali ini menjadi catatan baru dalam sejarah hubungan rakyat dan negara.
TempoJateng.com - Senin pagi, 31 Maret 2025, halaman Istana Kepresidenan Jakarta dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Mereka datang bukan sebagai undangan resmi, bukan pula sebagai delegasi organisasi. Mereka datang sebagai rakyat biasa—pengemudi ojek daring, ibu rumah tangga, penyandang disabilitas—yang untuk pertama kalinya diperkenankan masuk ke jantung simbol kekuasaan negara: Istana Negara.
Tradisi gelar griya atau open house Lebaran yang rutin digelar saban Idulfitri itu mencetak sejarah. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, untuk pertama kalinya rakyat jelata dapat melangkah ke dalam ruangan-ruangan megah yang selama ini hanya bisa mereka lihat di layar televisi atau buku pelajaran sejarah. “Senang banget, alhamdulillah bisa ke Istana Indonesia, ini pertama kalinya,” ujar Fitri, pengemudi ojek online yang datang bersama rekan-rekannya. “Happy banget ketemu Pak Prabowo.”
Fitri bukan satu-satunya yang terbata oleh rasa haru. Yasin, pengemudi ojol lainnya, tampak tak kuasa menyembunyikan emosi. Ia berdiri lama di depan pintu utama Istana, seolah ingin memastikan momen itu benar-benar nyata. “Sungguh berbahagia sekali, baru kali ini saya bisa hadir. Terharu bisa menginjakkan kaki di Istana Negara,” ucapnya dengan mata berkaca.
Interior istana yang selama ini tersembunyi di balik pagar tinggi, kini tersaji bagi ribuan pasang mata. Marmer putih mengilap, lampu kristal yang menjuntai megah, dan ornamen-ornamen warisan republik menjadi latar foto yang dipotret cepat dengan ponsel pribadi. Tak ada batasan protokoler yang menyulitkan. Bahkan penyandang disabilitas pun diterima dengan tangan terbuka. “Alhamdulillah kita bisa berbaur dengan warga umum. Disabilitas bisa diterima masuk Istana dengan baik,” ujar Marudi, yang datang dengan kursi roda.
Kegiatan ini bukan sekadar seremoni berbagi bingkisan. Ia menjadi pesan simbolik tentang keterbukaan, bahwa negara bukan hanya milik mereka yang berpangkat, melainkan juga mereka yang sehari-hari menunggu orderan di pinggir jalan. Di tengah suasana Idulfitri yang fitri, gelar griya menjadi momentum untuk menautkan kembali jarak antara rakyat dan pemimpinnya.
Presiden Prabowo, meski tidak banyak berbicara, hadir sebagai tuan rumah. Ia menyapa, menyalami, dan menundukkan kepala pada beberapa warga yang menyapanya terlebih dulu. Tak ada podium, tak ada pidato panjang. Yang ada hanyalah pertemuan tanpa sekat—antara kekuasaan dan harapan.
Hari itu, Istana tak hanya berdiri sebagai bangunan megah. Ia hidup, berdenyut, dan menyambut. Dan bagi mereka yang datang, jejak kaki di marmer istana akan tinggal lama dalam ingatan, sebagai bukti bahwa kadang, negara bisa benar-benar terasa dekat.(Ista)
0 Komentar