Idulfitri pertama Ahmad Luthfi sebagai Gubernur Jawa Tengah disambut dalam balutan kekerabatan dan silaturahmi, tanpa sekat protokoler.
TempoJateng.com — Pagi yang cerah di Wisma Perdamaian, Senin (31/3/2025), terasa berbeda dari biasanya. Gedung bergaya kolonial itu, yang dahulu menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah, hari itu dipenuhi gelombang manusia dari berbagai latar—tokoh agama, pejabat pemerintahan, masyarakat umum, hingga kaum duafa. Semua berbaur dalam satu suasana: silaturahmi Lebaran.
Ahmad Luthfi berdiri di tengah kerumunan, senyumnya merekah menyambut tamu yang datang. Ini bukan Lebaran pertamanya, tapi Idulfitri kali ini terasa spesial. Untuk pertama kalinya ia merayakan sebagai Gubernur Jawa Tengah—dan lebih dari itu, sebagai warga sipil.
“Open house pertama saya sebagai Gubernur dan Gus Yasin sebagai Wakil Gubernur. Kalau dulu suasananya dinas, kali ini nuansanya beda. Ada kekerabatan yang luar biasa. Semua silaturahmi, semua memberikan masukan. Tidak ada ewuh pakewuh,” ujar Luthfi.
Ia mengenakan kemeja putih dan peci hitam, berdiri di sisi Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen dan Sekda Provinsi Sumarno. Ketiganya memulai acara dengan membagikan sekitar seribu paket zakat kepada kaum fakir miskin dan duafa. Setelah itu, satu per satu tamu datang menyalami—dimulai dari Wali Kota Semarang, lalu barisan tokoh agama dan masyarakat sipil.
Suasana cair dan penuh kehangatan. Tidak ada pembatas ketat antara pemimpin dan rakyatnya. “Inilah bentuk keluarga dalam negara,” ucap Luthfi. “Kantor gubernur adalah rumah rakyat. Semua ikut serta—kaum duafa, pegawai, OPD. Ini representasi hadirnya negara di tengah masyarakat.”
Luthfi mengaku, menjadi Gubernur saat Idulfitri memberi perspektif baru. Semasa menjabat sebagai Kapolda Jawa Tengah, ia justru harus bekerja saat Lebaran. “Tidak ada cuti bagi polisi. Fokusnya memberikan pengamanan dan pelayanan kepada masyarakat. Sekarang bisa bersilaturahmi lebih luas,” katanya.
Wakil Gubernur Taj Yasin, atau yang akrab disapa Gus Yasin, menambahkan, konsep open house itu selaras dengan filosofi Wisma Perdamaian yang kini disebutnya sebagai "Rumah Rakyat."
“Sesuai dengan tulisan di atas itu,” ujarnya sambil menunjuk bagian atas gedung. “Ada semboyan: Rumah Rakyat. Maka tempat ini milik semua.”
Hari itu, di Wisma yang pernah menjadi simbol kekuasaan, nuansa baru hadir. Bukan sekadar open house seremonial, tapi perayaan Lebaran yang memeluk semangat gotong royong dan inklusivitas. Tidak ada sekat antara pejabat dan rakyat. Yang ada hanya jabat tangan, senyum, dan semangat menyambut hari kemenangan.(Ihsan)
0 Komentar